~ The Long Journey To Get Miracle ~ 4

Chapter 1 ( part 4 )

Hampir setahun berlalu sejak kejadian patah tangan itu. saat ini aku sudah duduk di bangku SD kelas 2. Hari-hariku berjalan seperti sebuah drama televisi yang membosankan. Tak ada yang namanya bermain-main ke rumah teman meskipun itu untuk mengerjakan tugas kelompok.

Aku selalu di khususkan oleh semua guru-guru dalam mata pelajaran apapun. kalau pun ada tugas sekolah yang harus dikerjakan secara kelompok, maka rumahku lah yang menjadi tempatnya.

Pertengahan tahun ajaran di kelas 2, aku melaluinya dengan mudah. Tidak ada pelajaran-pelajaran yang membuatku harus memeras otak. Dan hal lain yang sedikit memberikan perubahan adalah, mama tidak lagi menjagaku saat aku berada disekolah. Karena kesulitan ekonomi yang makin menghimpit kehidupan kami, mama memutuskan untuk berjualan kue keliling. Mama hanya mengantar dan menjemputku saja dari sekolah. Semua hal berjalan dengan baik sampai kejadian yang sama terulang kembali.

Siang itu, saat jam istirahat tiba. Aku berjalan bersama dua orang temanku ke kantin untuk membeli makan siang. Saat teman-temanku sedang asyik menyantap makan siang mereka, aku bilang kalau ingin ke kamar kecil sebentar, karena saat itu aku betul-betul kebelet untuk pipis. Dan aku tak mungkin menunggu mereka selesai makan.

“ kamu ngga apa-apa kan ke kamar kecil sendiri.?” tanya lisa.

“ ngga apa-apa ko, aku bisa. Kalian terusin makan aja.” Jawabku dengan tersenyum.

Jujur, aku sebenarnya ragu saat itu. tapi aku ngga enak memaksa mereka untuk meninggalkan makan siang mereka hanya untuk menemaniku ke kamar kecil. Aku kemudian memberanikan diri untuk berjalan sendiri.

Entah apa yang membuat aku tidak konsentrasi saat melangkahkan kaki dan mengakibatkan aku menginjak sebuah batu kecil yang membuatku terpeleset jatuh. Dan sudah bisa ditebak dengan jelas apa yang terjadi padaku saat itu.

aku mengalami lagi patah tulang kaki dibagian paha kiri.
Dalam ketakutan aku hanya bisa menangis sambil memegang erat kaki kiriku yang sudah terkulai lemas. Bahkan untuk berteriak minta tolong pun aku sudah tidak bisa, aku hanya terus menangis dan menangis dalam ketakutan. Aku begitu takut harus membuat orang tuaku kecewa dan kerepotan lagi karena aku sakit.

Dan kira-kira hampir sepuluh menit berlalu, tiba-tiba lisa dan ria datang untuk menyusulku. Tapi mereka begitu terkejut melihatku yang berada di tanah, menangis sambil memegang kakiku.

“kamu kenapa yan.?” Tanya ria dengan nada cemas.

“ tolong aku ri…kakiku patah, tolong panggilkan bu meidi.” Aku berusaha keras untuk menahan semuanya, menahan air mata ini, juga menahan rasa sakit yang luar biasa pada kakiku.

“ kakimu kenapa yan, kenapa bentuknya jadi seperti itu.?” tanya lisa keheranan. Aku bisa menjamin, seumur hidupnya lisa tidak pernah melihat yang namanya patah tulang. Karena dari pertanyaan dan wajahnya, aku bisa melihat jelas kebingungan yang sangat besar.

“ aku mohon lis, jangan lagi bertanya. Tolong panggilkan saja bu meidi.” Dengan terisak aku meminta mereka untuk segera mencari bu meidi, wali kelas kami. Dan dengan cepatnya mereka berdua menghilang dari hadapanku untuk memberitahukan keadaanku pada bu meidi.

Aku berteriak kesakitan saat para guru memindahkanku ke dalam kelas. aku benar-benar tak bisa menjelaskan dengan kata-kata seberapa sakitnya saat tulangku yang patah itu mengalami guncangan dalam perjalanan menuju kedalam kelas. Semuanya terasa menyakitkan, terlebih lagi saat aku melihat mamaku yang berlari menghampiriku dengan air mata dipipinya. untuk kesekian kalinya, mama menangis karena aku.

“ bagaimana kalau yanne kita bawa ke RS dimana kakaku bekerja ? setidaknya kita bisa mendapatkan sedikit keringanan disana.” Kata bu meidi pada mama.

“aku tidak tahu harus bagaimana lagi bu guru.? terserah bu meidi lah, kalo memang itu yang terbaik, kita bawa saja yanne ke sana sekarang juga.” Ujar mama yang masih terlihat tidak percaya kalau aku harus mengalami hal yang sama lagi.

“ baiklah, aku akan segera menyiapkan kendaraan untuk membawa yanne ke sana secepatnya.”

Segera setelah mendapat persetujuan dari mama, bu meidi langsung mencari kendaraan untuk membawaku ke RS dimana kakanya bekerja.

Setelah begitu banyak waktu yang aku habiskan di RS, ini kali pertamanya aku dibawa ke RS ini. Perjalanan ke RS terbilang cukup jauh, kira-kira memakan waktu hampir satu jam. Dan bisa dibayangkan betapa menyiksanya perjalanan ke RS itu bagiku.

Kakiku yang hanya dibungkus perban seadanya harus melalui guncangan-guncangan saat mobil yang kami tumpangi harus melewati beberapa jalan yang berlubang. Entah berapa banyak air mata dan teriakan yang sudah aku keluarkan, tapi rasa sakit itu sama sekali tidak bisa aku tahan. Sungguh sangat sakit rasanya.

Setibanya di RS, aku segera di bawa masuk ke salah satu ruangan yang aku sendiri pun tidak tahu itu ruangan apa ? Yang jelas, ruangan itu terlalu kecil untuk dibilang UGD, juga terlalu sunyi. Aku hanya bisa melihat ada beberapa pasien yang di tangani di ruangan itu. termasuk salah satunya aku.

Tidak lama kemudian, tiga orang perawat menghampiriku, satunya pria dan duanya wanita. Kemudian si mantri menyuruh salah satu dari perawat itu untuk mengambilkan beberapa kain perban dan kayu khusus untuk menyangga kakiku yang patah.

Ketakutanku mulai memuncak saat melihat aktifitas mereka. Aku teringat kembali kejadian-kejadian di tahun sebelumnya, dimana para perawat menangani kakiku yang patah. Aku tahu ini pasti akan menyakitkan, dan mau tidak mau, aku harus kuat.

“aduuhh…!! sakiiiit ma…, mama tolong ma ini sakit sekali !” Teriakku ketika perawat dan mantri itu mulai mengangkat kakiku untuk di perban. Seberapa besarpun aku mencoba, aku tetap dikalahkan oleh rasa sakit itu.

“tahan sedikit ya de.. kalau kamu menangis, kakimu akan semakin sakit.” Bujuk salah satu perawat itu.

“ia tidak akan kuat, bagaimana kalo dia dibius saja.?” Si mantri memberikan saran kepada dua temannya.

“aku rasa itu lebih baik, setidaknya dia tidak akan merasakan sakit ketika kita mengatur posisi kakinya.” Jawab salah satu perawat itu. dia kemudian mengambil beberapa peralatan dan obat untuk membiusku.

Mataku terus mencari-cari sosok mama, dimana mama? aku ingin mama ada disampingku saat ini. Tapi aku hanya bisa melihat mama dari balik sebuah kaca di jendela ruangan itu. aku menangis memanggil-mangil mama, tapi mama sama sekali tak di ijinkan untuk masuk, aku bisa melihat jelas betapa sedihnya mama harus membiarkanku sendiri di dalam ruangan itu. sama sepertiku, mama pun hanya bisa memandangiku sambil menangis.

Aku begitu terkejut, ketika salah satu perawat itu memakaikan sesuatu di hidungku. Bentuknya seperti sebuah topeng berwarna hitam, yang hanya menutupi separuh wajahku, yaitu sekitar hidung dan mulut. Beberapa saat setelah aku memakai alat itu, aku mulai merasa seperti di awan-awan, rasanya seperti kelelahan yang sangat dan seperti ingin tidur karena ngantuk berat. Aku hampir tidak sadarkan diri ketika aku kembali merasakan sakit di kakiku saat mereka sedang mengaturnya.

“ahh…sakit..” dengan suara yang terdengar lemas, aku masih bisa merasakan sakitnya. Meskipun reaksiku sudah tidak seperti saat pertama kali aku tiba. Tapi setidaknya dalam keadaan setengah sadarpun aku masih bisa merasakan sakit yang menusuk tajam di kakiku.

Setelah kakiku diperban dengan benar, aku kemudian di antar ke ruangan perawatan. Dan seperti biasanya, kakiku kembali di “utak-atik” disana. Mereka memakai sebuah katrol yang di pasangkan dengan sebuah tali bendera kecil pada sebuah tiang besi tepat dibawah tempat tidurku, untuk bisa menyanggah kakiku.

Kemudian kakiku di gantung kira-kira beberapa cm keatas dengan tali itu, dan di ujung tali itu, di ikatkan sebuah tas yang berisikan beberapa buah batu dengan tujuan agar kakiku dapat tertarik dan tidak bengkok saat sembuh nanti.

Bisa di tebak dengan jelas, saat para perawat melakukan semua itu, seperti biasanya aku berteriak seperti orang gila karena guncangan yang terjadi pada kakiku. Aku bahkan tidak tahu, lari kemana pengaruh obat bius yang mereka berikan padaku? karena rasa sakit itu masih jelas terasa menusuk-nusuk di kulitku.

Hari itu terasa begitu lambat bagiku, setiap menit dan detik yang aku lewati sama seperti sebuah pisau yang menyayat-nyayat setiap kulitku. Sakit dan sakit, hanya itu yang bisa aku rasakan kala itu. aku mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada DIA yang bertanggung jawab atas hidupku.

Mengapa semua yang buruk ini harus aku terima.? Aku tidak pernah lupa pada-MU disetiap aku bertemu pagi. Aku tidak pernah lupa berterima kasih pada-MU untuk sepiring makanan dihadapanku. Aku tidak pernah lupa pada-MU sebelum mataku terpejam dikala malam. Bahkan sepanjang hari-hari terberatku, hanya wajah-MU yang kucari lewat KKR-KKR bersama mamaku.

Tidak ada satu pun perintah-MU yang tak kulakukan, dan tak ada satu pun dari semua yang KAU benci kulakukan dalam hidupku. Apa salahku TUHAN? Dan apa salah kedua orang tuaku, sehingga kutuk ini harus ku tanggung seumur hidupku ? Berikanlah aku sebuah penjelasan mengapa ini harus terjadi, maka aku akan diam dan mentaati semuanya. Aku benar-benar tidak mengerti TUHAN, mengapa harus aku ?

***

To be continued…

Tinggalkan komentar