~ The Long Journey To Get Miracle ~ 3

Chapter 1 ( part 3 )

Aku hanya bisa diam dalam tangis yang tertahan, ketika mama mulai memarahiku dengan mengulang kembali nasehat-nasehatnya yang sudah aku langgar.

“seharusnya kamu mendengarkan nasehat mama yan..” dengan air mata yang terus mengalir, mama terlihat sangat kecewa dan sedih.

“kalo kamu tidak keluar kelas, kamu pasti tidak akan terjatuh dan harus menahan sakit seperti ini lagi.” sambung mama dengan nada penyesalan yang terdengar jelas.

“aku cuman pengen jalan keluar sebentar ma.., aku bosan di kelas terus…” dengan terisak aku mengemukakan alasanku sendiri.

“sudah berapa kali mama bilang ke kamu yan, kalau mau keluar kelas minta tolong sama ibu guru. Biar nanti ibu guru yang akan mengantar kamu keluar. Kenapa kamu sama sekali tidak bisa mengerti keadaan kamu sendiri ? kalau sudah begini yang sakit bukan mama, tapi kamu sendiri yang merasakan sakitnya.”

Mendengar kata-kata mama, aku hanya bisa terdiam dalam sebuah penyesalan yang teramat dalam, karena semua yang di ucapkan mama itu memang benar. Karena kebodohanku sendirilah yang pada akhirnya membuatku merasakan rasa sakit yang sama untuk kesekian kalinya.

Karena keterbatasan ekonomi dan kebencianku akan rumah sakit, saat itu orang tuaku hanya membawaku pada tukang urut disekitar tempat kami tinggal. Wajarlah jika orang tuaku tak mampu lagi membawaku ke RS. Papaku hanyalah seorang montir di sebuah bengkel kecil dan mama sendiri hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa, yang meskipun ingin sekali bekerja untuk membantu papa, tapi terhalang karena harus terus menjagaku 1*24 jam.

Sejak aku berusia 1 tahun, aku tidak pernah absen keluar  masuk RS, bahkan dalam jangka waktu setahun aku sampai dua kali dirawat di RS hanya karena patah tulang.Wajar pula jika aku sangat tidak menyukai yang namanya RS sampai saat ini.

Tanpa obat penghilang rasa sakit baik itu obat dokter atau tradisional, tukang urut itu langsung saja mengatur bentuk tulang tanganku yang sudah sangat jauh dari yang namanya normal.

Krek..krek..bunyi tulang tanganku yang sedang di ‘perbaiki’ hampir tak terdengar oleh yang lain selain diriku sendiri, karena tertutupi oleh teriakanku.

“ aahhh….sakiiiiitt  ma..!!!” aku berteriak menahan sakit yang luar biasa. Sebagai anak kecil berumur 5 tahun, hanya itu yang bisa aku lakukan saat rasa sakit tak bisa lagi kutahan.

“tahan sebentar lagi ya de, jangan teriak nanti tanganmu tambah sakit.” Mama dengan air mata yang mulai membasahi pipinya, berusaha untuk menenangkanku. Meskipun mama sendiri tidak tega melihat keadaanku.

“ tapi ma….sakiiiitttt, aku ngga tahan mama, aku ngga tahaaan..!” teriakku lagi, memohon agar segera menghentikan pengobatan itu.

“iya sayang, sebentar lagi selesai, kamu yang kuat ya..” bujuk mama lagi. Saat itu aku hanya bisa berteriak dan menangis sejadi-jadinya karena kesakitan.

Dan setelah pengobatan itu selesai, aku hanya bisa terdiam lemas dalam isak karena kelelahan. Dan semuanya semakin membuatku ingin tahu, mengapa aku yang harus mengidap penyakit ini ?

Setelah beristirahat di rumah selama dua minggu, aku akhirnya kembali ke sekolah karena sebentar lagi ujian kenaikan kelas. Tak ada yang berubah saat aku kembali bersekolah, kecuali penjagaanku yang ‘diprketat’ oleh mama.
Sejak kejadian itu, mama lebih sering menemaniku disekolah. Dan satu hal juga yang sedikit banyak merubah cara belajarku. Aku harus melatih diriku sendiri untuk bisa menulis dengan tangan kiri. Memang tidak terlalu sulit ketika aku mencobanya, tapi tidak terlalu mudah juga untuk dilakukan saat tangan kananku terluka. Aku benar-benar kesulitan saat pertama kali mencoba menulis dengan menggunakan tangan kiriku. Tapi kemudian aku mulai terbiasa, meskipun tulisanku itu lebih mirip cakaran ayam, tapi setidaknya aku sudah bisa menjawab soal-soal ujianku dengan baik.

Selain tanganku yang dibungkus rapi oleh perban. Semuanya masih terlihat sama bagiku, pikiranku masih dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa semua ini harus terjadi ? Dan mengapa aku harus hidup dalam keadaan seperti ini ? Mengapa aku ya TUHAN…?

***

   

“ sekarang harus gimana ?” Tanya mama pada papa ketika mereka melihat tanganku.

“ aku juga tidak tahu ma.., satu-satunya cara yang tepat adalah membawanya ke rumah sakit.” Jawab papa dengan nada kebingungan persis seperti yang mama rasakan.

Keadaan saat itu benar-benar membawa tekanan yang besar dalam keluargaku. ekonomi keluargaku yang semakin memburuk akibat terkuras habis untuk biaya pengobatanku, kini bertambah buruk dengan kondisi tanganku yang tidak kembali ke kondisi normal.
Akibat kecelakaan itu, ditambah lagi dengan penanganan tukang urut kampung yang tentu saja tidak sebaik dokter, membuat tanganku terlihat seperti bomerang. yang jika diluruskan maka akan terlihat seperti sebuah bukit kecil di ujung sikut kananku.

Orang tuaku pun mengambil keputusan untuk membawaku ke rumah sakit, dengan harapan bisa mendapatkan cara untuk menyembuhkan tanganku.  Aku kemudian kembali menjalani pemeriksaan –pemeriksaan seperti yang sudah-sudah. Melakukan foto rontgen untuk melihat bentuk tulang tanganku. dan setelah melihat hasilnya, dokter rudy memutuskan untuk segera melakukan operasi untuk mengembalikan tanganku ke keadaan yang normal.

Setelah selesai melakukan serangkaian pemeriksaan ulang, dan mendengarkan penjelasan dokter rudy tentang apa yang harus aku lakukan sebelum menjelang operasi. aku pun di ijinkan untuk pulang dan beristirahat sebelum operasi. Malamnya aku sudah tidak ijinkan untuk makan, karena salah satu syarat sebelum melakukan operasi adalah aku harus puasa.

Malam itu aku begitu ketakutan dan cemas. Saat malam mulai menyongsong pagi, pikiran-pikiran yang aneh mulai muncul dan berkembang liar dalam otakku. Bagaimana kalau aku masih bisa merasakan saat pisau operasi itu membelah tanganku? apa obat bius yang mereka gunakan benar-benar kuat sehingga aku tak bisa merasakan sakit ketika tanganku dibelah? lalu bagaimana kalau setelah dibius aku tidak bisa bangun lagi?

Semua hal itu membuat aku begitu gelisah, belum lagi ditambah perutku yang mulai mencari-cari sesuatu untuk dicerna tapi tak bisa kuberikan karena saat itu aku sedang puasa. Dan keadaan malam itu benar-benar menyesakkan bagiku.

***

“Maksud kalian apa ?” Dengan nada suara yang terdegar meninggi, mama bertanya pada salah satu perawat di depan ruang operasi. “ anak saya sudah menahan lapar sejak  tadi malam, dan sekarang kalian bilang operasinya di dibatalkan ?” Mama sudah tidak bisa lagi menahan emosinya.

Saat itu aku tidak bisa lagi duduk dengan tenang. Kakiku gemetar, jantungku seperti dipompa dengan kencang, dan jari jemariku tak berhenti mengucek-ngucek ujung bajuku. Ketakutanku semakin bertambah ketika aku melihat beberapa perawat dan dokter yang lalu-lalang didepanku dengan menggunakan pakaian lengkap untuk operasi.

Tapi ketakutanku itu sepertinya tidak akan berlangsung lama karena tiba-tiba saja mama datang menghampiriku dan membawaku pergi dari ruangan itu sambil marah-marah.

“ ayo yan, kita pulang. Buang-buang waktu saja bicara dengan mereka.”

“ tapi ma, bukankah sebentar lagi aku akan dioperasi ?” Tanyaku dengan kebingungan.

“ tidak lagi sayang. Ayo kita pulang.” Jawaban mama sontak membuatku senang.

“ berarti aku sudah boleh makan sekarang kan ma ?”  Tanyaku lagi untuk memastikan bahwa aku bisa mengabulkan permintaan perutku untuk bisa mencerna sesuatu.

“tentu saja yan, setelah ini kita pergi makan. Ayo kita keluar dan temui papa.”

Betapa senangnya perasaanku saat itu, selain akhirnya aku bisa makan, aku pun terlepas dari rasa takut untuk melakukan operasi . dan alasan tidak terjadinya operasi itu, karena terjadinya kesalahan jadwal operasi yang dilakukan oleh pihak RS.

Aku yang seharusnya melakukan operasi di hari itu, tiba-tiba dibatalkan karena tidak tersedianya ruangan untuk operasi, karena sudah ada jadwal operasi untuk pasien lain pada hari yang sama. Biaya operasinya juga berbeda dengan sebelumnya, saat itu orang tuaku diharuskan untuk segera membayar biaya operasi yang tadinya sudah disepakati untuk dibayar dengan cara menyicil. Sekali lagi, karena keterbatasan biaya aku harus merelakan kesempatan untuk bisa mengembalikan bentuk tanganku kekeadaan yang normal.

Sejak insiden di RS itu, orang tuaku pun memutuskan untuk membawaku lagi pada tukang urut yang lebih profesional. Yang katanya bisa memperbaiki tulang yang bengkok, meskipun  tulangnya sudah mengeras dan sembuh. Aku pun dibawa ke tempat tukang urut itu. kondisi tulang tanganku saat itu sudah 85% sembuh, jadi meskipun sudah bisa digerakan tapi masih terasa sakit jika di tekan atau diremas.

Saat memasuki ruangan praktek tukang urut itu, aku melihat ada begitu banyak pasien-pasien dengan keadaan tangan ataupun kaki yang di perban. Sama persis dengan keadaanku saat itu.

Mama dan papa mengambil tempat duduk disamping pasien lainnya, sambil menunggu giliran kami untuk masuk.

Akhirnya giliranku pun tiba. Aku kemudian dibawa masuk oleh mama dan papa kedalam ruangan tukang urut itu.

“ apa tangan anak saya bisa kembali normal pak ?” Sambil melepaskan ikatan perban di tanganku, mama bertanya pada si tukang urut itu.

“biar saya lihat dulu ya bu.” Jawab tukang urut itu.

Dia kemudian memegang tanganku , meraba-raba tulang tanganku yang bengkok dengan gaya serius yang membuatku takut.

“ tulangnya sudah mengeras bahkan hampir sembuh. Jadi akan sulit untuk membuatnya kembali seperti semula. Tapi masih bisa lah.”

Dengan santainya bapak tukang urut itu memberikan jawaban. dia kemudian mengambil sepiring minyak urut yang sudah dia sediakan, kemudian menggosokannya pada tanganku.

Dalam hati aku mulai merasakan ketakutan, aku mulai membayangkan kembali rasa sakit saat pertama kali tanganku di urut sama tukang urut yang pertama.

Dan ternyata ketakutanku itu benar-benar terjadi.

“ahhh…..!!! sakiiiit…sakiiit ma.., tolong hentikan…”

Aku berteriak sejadi-jadinya karena kesakitan saat tukang urut itu mulai meremas, memutar dan bahkan menarik paksa tanganku yang bengkong.

“papa…, tolong pa hentikan orang ini. Aku mohon..” air mataku mulai membasahi pipiku, aku terus berteriak meminta kedua orang tuaku untuk menghentikan ‘siksaan’ yang dilakukan tukang urut itu. tapi seberapa keras pun aku berteriak dan menangis, tak ada yang bisa mengehentikan rasa sakit ini. Bahkan kedua orang tuaku sendiri.

Untuk kesekian kalinya aku harus merasakan rasa sakit yang sama. Sejak kecelakan saat aku berusia 1 tahun itu,  hampir setiap tahun aku harus merasakan yang namanya sakit karena patah tulang.

Kalau dihitung-hitung sudah 4 kali aku harus menghadapi rasa sakit yang sama. Tapi aku tetap tak bisa menemukan cara untuk bisa menghindari rasa sakit ini. Dan ketika aku harus menghadapinya lagi, tak ada yang bisa aku lakukan selain berteriak menangis.

Entah sampai kapan aku harus merasakan rasa sakit ini ?  Setiap kali hari berganti bukan sukacita yang kurasa, tapi justru ketakutan yang luar biasa. Aku begitu takut untuk sakit lagi, sehingga tak ada satu pun hari yang bisa aku lewati tanpa ketakutan.

Kejadian malam itu terus saja terjadi ketika untuk kesekian kalinya mama dan papaku membawa aku ke tukang urut itu. tak ada sedikitpun perubahan yang terlihat pada tanganku sejak tukang urut itu mengobatinya. Yang ada aku justru semakin dibuat tersiksa dengan caranya memperbaiki tanganku.

Dan betapa leganya aku, ketika akhirnya orang tuaku menyerah dan berhenti membawaku ke tukang urut “jadi-jadian” itu.

Aku tidak perduli lagi, mau sebengkok apapun tanganku, aku akan menerimanya selama rasa sakit itu bisa aku hindari. Aku akan terima.

   ( inilah gambar asli bentuk tanganku yang s’karang. tangan yang berkali-kali di ‘perbaiki’ oleh tukang urut dan juga pernah mengalami gagal operasi. )

***

To be continued…

Tinggalkan komentar